Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 24 September 2025 WIB

Arist Merdeka: 52 Persen Kekerasan Seksual terhadap Anak

Redaksi - Jumat, 12 Agustus 2022 16:45 WIB
486 view
Arist Merdeka: 52 Persen Kekerasan Seksual terhadap Anak
Foto: Dok/Arist Merdeka
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Meningkatnya berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia, khususnya di Sumatra Utara, menunjukkan negara telah gagal melindungi anak.

"Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga tidak mampu menjaga dan menjamin keberlangsungan hidup anak dan hak-hak dasar anak. Masyarakat, orang tua dan keluarga telah abai menjaga dan melindungi hak-hak mendasar anak," kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, saat diminta tanggapan maraknya kekerasan terhadap anak di Sumatra Utara, Jumat (12/8/2022).

Arist mengatakan fakta menunjukkan ada banyak anak di berbagai tempat di Indonesia hidup dalam lingkaran kekerasan, baik kekerasan fisik, mental maupun kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat anak.

Hidup dalam garis kemiskinan, terutama anak-anak yang berada pada daerah-daerah perbatasan, terpencil dan terisolir.

"Ada banyak data yang dilaporkan di Komnas Perlindungan Anak, 52 persen dari pelanggaran hak anak di Indonesia tersebut didominasi kasus kekerasan seksual baik dalam bentuk hubungan seksual sedarah, sodomi, pelecehan seksual, rudapaksa dan berbagai bentuk perbuatan pencabulan," paparnya.

Lebih lanjut Arist menjelaskan, ada banyak juga anak di Indonesia dilaporkan menjadi korban eksploitasi seksual komersial, anak korban perbudakan seks, anak korban serangan rudapaksa oleh orang terdekat anak, ayah paman, kakek, abang atau sepupu anak.

"Ada banyak pula fakta anak menjadi korban penelantaran, korban perceraian, dan anak korban penculikan untuk adopsi ilegal, eksploitasi ekonomi dan berbagai bentuk kekerasan lainnya," ucap Arist.

Begitu juga anak menjadi korban penyiksaan yang keji dan perampasan hak hidup anak.[br]



"Kasus kekerasan fisik yang mengakibatkan seorang anak usia 10 tahun meninggal ditikam paman kandung korban sendiri di Sunggal, Deliserdang. Peristiwa ini menunjukkan betapa kejinya perlakuan terhadap anak," katanya.

Ia juga menyampaikan ada juga seorang ibu di Brebes, Jawa Tengah, tega menggorok leher anaknya sendiri.

"Sungguh biadab, ada seorang ayah di Semarang merudapaksa putrinya sendiri secara berulang hingga meninggal dunia. Ada juga dua anak kakak beradik di Makasar dicongkel mata dan dimutilasi tubuhnya untuk tumbal ilmu hitam dan ada banyak lagi anak-anak menjadi korban peredaran narkoba dan Pornografi," kesalnya.

Arist juga menyebut ada seorang kakek di Riau menyiksa dan menganiaya anak hingga tewas dengan cara memutilasi tubuh korban.

"Tidaklah berlebihan dengan meningkatnya kasus pelanggaran hak anak menunjukkan Indonesia saat ini sudah dalam kondisi darurat kekerasan nasional," tegas Arist.

Ia mengatakan berbagai peraturan maupun perundang-undangan sudah banyak tersedia untuk melindungi anak mulai dari Perda, Perbup, Pewali, Pergub, Permen, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah Perpres, Perpu maupun undang-undang.

Sayangnya, produk-produk hukum itu belum juga bisa menjamin anak Indonesia terbebas dari praktek kekerasan.

"Lalu dalam rangka 77 tahun Indonesia Merdeka, apa aksi nasional yang bisa dilakukan dalam rangka memutus mata rantai kekerasan terhadap anak di Indonesia?" tanya Arist.

Ia menyarankan untuk memerdekakan anak dari berbagai praktek-praktek kekerasan sudah saatnya dibangun gerakan bersama memutus mata rantai kekerasan terhadap anak dengan membangun sentra-sentra maupun pokja dan satgas perlindungan anak berbasis desa kampung dan komunitas.

"Dalam kerangka 77 Indonesia, mari buka hati dan telinga kita dan janganlah berdiam diri atas kejahatan terhadap anak, dan jadilah kita pelopor dan pelapor perlindungan anak," kata Arist. (*)




Editor
:
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru